PENIADAAN SALAT JUMAT DI MASA COVID DALAM PERSPEKTIF MAQASID AL-SYARIAH

  • 01 Januari 1970
  • 12:00 WITA
  • AAH
  • Berita

DI-S2.Berita. Isu aktual tentang peniadaan salat Jumat di masa pandemic Covid 19 menjadi topik pembahasan tesis saudara Sirajuddin, mahasiswa Konsentrasi Syariah Hukum Islam Program Studi Dirasah Islamiyah Magister. Penelitian ini dibimbing oleh Prof. Dr. H. Kasjim Salenda, SH. M.Th.I dan Dr. H. Abd. Wahid Haddade, Lc. M.H.I. Hari ini, Kamis 17 September 2020, mahasiswa bersangkutan menempuh ujian akhir tesis melalui Virtual Zoom. Bertindak sebagai penguji dalam kegiatan ini adalah Dr. H. Supardin, M.H.I. dan Dr. Fatmawati, M.Ag. Peniadaan salat jumat dalam konteks Sulawesi Selatan didasarkan pada Surat Edaran Gubernur Sulsel Nomor: 451.11/2057.2020. 

Proses ujian diawali oleh paparan promovendus dengan menyampaikan segala catatan tim penguji dan promotor pada saat ujian hasil. Di antara paparannya, masyarakat tidak boleh hanya menjadi objek kebijakan. Kebijakan Gubernur Sulsel tentang peniadaan pelaksanaan Salat Jumat sebagaimana yang tercantum dalam Surat Edaran Nomor: 451.11/2057/2020 tentang Himbauan Kepada Masyarakat Di Provinsi Sulsel Terkait Pelaksanaan Kegiatan Keagamaan di Sulsel dalam upaya memutus mata rantai penyebaran COVID-19 relevan dengan prinsip maqasid al-syari’ah, baik perspektif al-maqasid al-kulliyyah (universal) maupun perseptif al-maqasid al-juz’iyyah (parsial). Peneliti juga mengatakan bahwa a) dalam memutuskan hukum suatu persoalan syariat yang terkait kemaslahatan publik, produk hukum yang diimplementasikan adalah yang dihasilkan melalui metode ijtihad kolektif para ulama dengan melibatkan para ahli yang memliki pengetahuan tentang persoalan; b) Jika pemimpin telah menentukan sebuah kebijakan berdasarkan hasil ijtihad kolektif para ulama demi kemaslahatan bersama, maka wajib bagi masyarakat untuk menaatinya; c) Jika terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama, kemudian pemimpin telah menetapkan salah satunya sebagai dasar kebijakan, maka tidak diperbolehkan bagi ulama atau mubaligh lainnya yang memiliki pendapat yang berbeda untuk menyebarkan pendapatnya di tengah masyarakat jika dapat menyebabkan kekacauan yang menghambat implementasi kebijakan tersebut.

Selanjutnya ia menjelaskan bahwa muncul sebuah fenomena kelompok dari kalangan masyarakat yang kontra terhadap kebijakan tersebut dengan tetap mengerjakan salat jumat di beberapa masjid. Karakteristik kelompok ini adalah: a) Lebih mengutamakan mengerjakan salat berjamaah dan Salat jumat di masjid selama pandemi COVID-19 berdasarkan argumentasi dalil-dalil syariat secara parsial dan cenderung mengabaikan prinsip ¬maqasid al-syari’ah al-kulliyyah; b) Menetapkan pendapat berdasarkan hasil ijtihad pribadi masing-masing dengan menjadikan kondisi yang diamati dan dialami sendiri sebagai landasan berpendapat dan cenderung mengabaikan keterangan para ahli terutama ahli epidimiologi dalam menilai situasi penyebaran COVID-19 atau lembaga yang telah dilegitimasi oleh pemerintah; dan c) Cenderung menggunakan perasaan dalam menyikapi persoalan COVID-19 untuk mengkritisi kebijakan pemerintah.

Berdasarkan analsisi dengan pendekatan fenomenologis, peneliti menyimpulkan sebuah makna esensi universal yang melatarbelakanginya, bahwa “Sebuah kebijakan sulit terlaksana dengan maksimal, jika kebijakan itu kontras dengan keyakinan masyarakat dan dalam implementasinya bertentangan dengan kebiasaan mereka.” 

Selanjutnya ujian dimulai dari Penguji Kedua Dr. Fatmawati, M.Ag dengan mengawali memberikan ucapan selamat atas capaian promovendus sampai pada ujian akhir munaqasyah. Selanjutnya ia menyoroti halaman 134, bahwa ketika terjadi perbedaan dikalangan ulama dan pemerintah mengambil salah satu pendapat ulama, maka tidak boleh siapapun untuk menyampaikan pendapat lain karena sudah ada keputusan dari umara' yang wajib diikuti. Namun faktanya ada beberapa ustadz atau ulama masih menyampaikan pandangan yang berbeda dengan keputusan pemerintah. Promovendus memberikan tanggapan bahwa itulah pemahamannya bahwa kebijakan pemerintah yang telah diambil untuk kemaslahatan publik tidak boleh dibantah oleh pandangan yang lain. Ia mengutip satu pandangan ulama yakni Ibn Taymiyah yang menekankan untuk mengikuti kebijakan pemerintah. Kemudian penguji pertama Dr. Supardin, M.H.I mempertanyakan kembali apa yang dianjurkan untuk diperbaiki. Peneliti menjawab untuk abstrak harus menampilkan tujuan penelitian. Kedua, meminta untuk memecah rumusan masalah dari dua menjadi tiga. Ketiga, penelitian yang dianggap kadaluwarsa. 

Selanjut dari Kopromtor Dr. H. Abd. Wahid Haddade, Lc. M.H.I, menyoroti aspek metodologi yang telah dikuliti oleh penguji pertama dan telah diperbaiki dengan baik. Ia bertanya, apakah dengan penambahan kasus Covid 19 Surat Edaran Gubernur bisa diterbitkan kembali. Dalam pandangan teruji, sangat sulit untuk diterbitkan kembali karena pemerintah lebih banyak mempertimbangkan aspek ekonomi dan tingkat resistensinya sangat tinggi. 

Promotor utama melanjutkan apa yang disampaikan oleh kopromotor dengan mengungkapkan kaidah fikih yang mana mempertimbangkan antara jiwa dan ekonomi. Fatwa ulama mempertimbangkan kemaslahatan publik. Promotor mengingatkan bahwa fatwa tidak bersifat mengikat, sehingga bisa dipertimbangkan lagi untuk dikeluarkan.

Pada akhirnya, Tim Penguji dan Promotor Kopromotor memberikan keputusan pada hasil ujian dengan predikat Cumlaude nilai 4.0 dan menjadi alumni yang ke-3031. Promotor dan Kopromotor serta tim penguji dan pimpinan Program Studi Dirasah Islamiyah Magister mengucapkan selamat atas keberhasilan studi saudara Sirajuddin, Lc. M.H.