Kebangkitan Solidaritas Umat: MUI Pimpin Boikot Produktif untuk Keadilan Palestina!

  • 18-11-2023
  • 08:42 WITA
  • Andi Abdul Hamzah Ketua Program Studi Dirasah Islamiyah (S2) Program Magister Pascasarjana UIN Alauddin Makassar
  • Opini

Kebangkitan Solidaritas Umat: MUI Pimpin Boikot Produktif untuk Keadilan Palestina!

By: Andi Abdul Hamzah

Ketua Program Studi Dirasah Islamiyah (S2) Program Magister Pascasarjana UIN Alauddin Makassar

Isu boikot produk yang berafiliasi dengan Israel merupakan respons terhadap konflik berkepanjangan antara Israel dan Palestina. Berbagai organisasi dan lembaga nasional dan internasional, termasuk Majelis Ulama Indonesia (MUI), telah menyerukan boikot sebagai tindakan solidaritas untuk rakyat Palestina dan sebagai bentuk protes terhadap tindakan-tindakan pemerintah Israel.

Dalam merespons kondisi geopolitik yang kian kompleks, terutama terkait dengan konflik Israel-Palestina, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat mengambil langkah signifikan dengan mengeluarkan fatwa boikot terhadap produk-produk yang memiliki afiliasi dengan Israel. Fatwa ini memicu diskursus di kalangan masyarakat, memberikan bobot moral terhadap pilihan konsumsi, sekaligus mempertanyakan efektivitas dan konsekuensi tindakan boikot dalam skala yang lebih luas.

Di satu sisi, fatwa ini memperkuat rasa solidaritas dan kepedulian umat Islam di Indonesia terhadap nasib rakyat Palestina. Boikot adalah cara untuk menyatakan ketidaksetujuan terhadap kebijakan kolonial Israel dan dipandang sebagai tindakan praktis untuk melakukan tindakan damai. Para pendukungnya melihat boikot tersebut sebagai bentuk tindakan nyata yang, meski bersifat simbolis, berfungsi sebagai seruan moral untuk mendukung kemerdekaan dan hak-hak Palestina.

Sementara itu, implikasi ekonomi dan politik dari fatwa ini tidak dapat diabaikan. Memboikot produk atau perusahaan Israel yang memiliki hubungan dengan Israel dapat membatasi akses kita terhadap produk konsumen, karena beberapa produk yang kita butuhkan memiliki hubungan langsung atau tidak langsung dengan Penjajah Israel. Kita, sebagai konsumen, mungkin harus mencari alternatif yang kurang memuaskan, lebih mahal, atau sulit ditemukan, yang dapat menimbulkan ketidaknyamanan dan beban.

Di tingkat makro, dampaknya bisa lebih kompleks. Indonesia, dengan ekonomi yang sedang berkembang dan peka terhadap pengaruh internasional, mungkin menghadapi konsekuensi diplomatik dari negara-negara yang bersekutu dengan Penjajah Israel, terutama di bidang perdagangan dan investasi. Selain itu, bisnis lokal yang secara tidak langsung terkait dengan Israel mungkin akan mengalami kerugian, mengancam stabilitas ekonomi dan lapangan pekerjaan.

Efektivitas boikot sebagai alat politik juga dipertanyakan. Tanpa partisipasi internasional yang meluas, boikot mungkin tidak akan memberikan tekanan finansial yang cukup untuk merubah pola pikir atau tindakan sebuah negara yang sudah memiliki ekonomi kuat dan dukungan internasional.

Sebagai lembaga keagamaan, MUI  merujuk pada ajaran Islam untuk mengungkapkan pendiriannya. Saat memboikot Penajajah Israel, MUI mengacu pada beberapa prinsip Islam:

1. Solidaritas:

Islam menekankan pentingnya umat Islam menunjukkan solidaritas terhadap kaum tertindas. QS.Al-Nisa'/4:75 menegaskan bahwa membela kaum tertindas dapat menjadi landasan spiritual dalam mendukung Palestina.

2. Keadilan:

Islam menekankan pentingnya keadilan dan perjuangan melawan penindasan. QS.Almaydah/5:8. Ayat  adalah sebagai sebuah seruan kepada para pejuang keadilan. 


3. Boikot dalam Sejarah Islam:

Praktik boikot bukanlah hal baru dalam sejarah Islam. Nabi Muhammad saw. dan para pendukung awalnya menghadapi boikot sosial dan ekonomi di Mekah, sehingga menjadi preseden boikot sebagai bentuk perlawanan pasif.

Dasar fatwa MUI juga mengacu pada Hadis Nabi Muhammad saw., sebagaimananya: “Tolonglah saudaramu, baik dia yang teraniaya maupun pelaku penganiayaan” (Bukhari dan Muslim), tanpa membedakan kebangsaan atau kekerabatannya. Prinsipnya adalah berdiri di pihak yang benar. Hal ini dapat diartikan sebagai dukungan untuk membantu kaum tertindas (dalam konteks ini, masyarakat Palestina) dan menyalahkan para penindas (yaitu penjajah Israel).

Namun, ada yang berpendapat bahwa tindakan ekonomi seperti boikot harus dipertimbangkan dengan hati-hati, mengingat kompleksitas perdagangan global dan potensi dampak sampingnya terhadap perekonomian dalam negeri, hubungan internasional, dan masyarakat yang tidak terlibat dalam konflik.

 

Dengan kata lain, fatwa boikot ini mengancam keselarasan etika, praktik ekonomi, solidaritas internasional. Besar kecilnya pergeseran keadilan akan bergantung pada seberapa luas dan efektif tindakan-tindakan tersebut diterima tidak hanya oleh Indonesia, tetapi, juga oleh komunitas internasional yang lebih luas.

 

Keuntungan dan kerugian boikot

Keuntungan boikot:

1. Solidaritas terhadap Palestina:

Boikot menunjukkan dukungan moral dan politik terhadap rakyat Palestina dan meningkatkan kesadaran global terhadap permasalahan yang mereka hadapi.

2. Tekanan ekonomi:

Boikot dapat memberikan tekanan ekonomi pada penjajah Israel dengan harapan mendorong perubahan politik atau negosiasi.

3. Sikap moral:

Bagi konsumen dan negara yang memilih melakukan boikot, hal tersebut dapat dilihat sebagai tindakan yang sesuai dengan nilai keadilan dan hak asasi manusia.

Kerugian Boikot:

1. Dampak Ekonomi Minimal:

Penjajah Israel mempunyai perekonomian maju dengan hubungan dagang yang beragam. Boikot yang dilakukan suatu negara atau kelompok mungkin tidak menimbulkan dampak yang signifikan.

2. Reaksi Balasan:

Negara atau perusahaan yang boikot bisa menghadapi reaksi balasan, termasuk boikot balik atau kerugian bisnis.

3. Polarisasi Selanjutnya:

Boikot dapat meningkatkan polarisasi dan ketegangan, daripada mendorong dialog atau solusi damai.


Ini kemungkinan yang menjadi faktor atau sebab, kenapa beberapa negara Arab enggan untuk menyinggung tentang perlawanan Palestina dan Boikot terhadap produk Penjajah Israel.

 

Andi Abdul Hamzah 

Ketua Program Studi Dirasah Islamiyah (S2)

Program Magister Pascasarjana UIN Alauddin Makassar


Paccinongang, 18 Nopember 2023.