Kebangkitan
Solidaritas Umat: MUI Pimpin Boikot Produktif untuk Keadilan Palestina!
By: Andi
Abdul Hamzah
Ketua
Program Studi Dirasah Islamiyah (S2) Program Magister Pascasarjana UIN Alauddin
Makassar
Isu boikot
produk yang berafiliasi dengan Israel merupakan respons terhadap konflik
berkepanjangan antara Israel dan Palestina. Berbagai organisasi dan lembaga
nasional dan internasional, termasuk Majelis Ulama Indonesia (MUI), telah
menyerukan boikot sebagai tindakan solidaritas untuk rakyat Palestina dan
sebagai bentuk protes terhadap tindakan-tindakan pemerintah Israel.
Dalam
merespons kondisi geopolitik yang kian kompleks, terutama terkait dengan
konflik Israel-Palestina, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat mengambil langkah
signifikan dengan mengeluarkan fatwa boikot terhadap produk-produk yang
memiliki afiliasi dengan Israel. Fatwa ini memicu diskursus di kalangan
masyarakat, memberikan bobot moral terhadap pilihan konsumsi, sekaligus
mempertanyakan efektivitas dan konsekuensi tindakan boikot dalam skala yang
lebih luas.
Di satu
sisi, fatwa ini memperkuat rasa solidaritas dan kepedulian umat Islam di
Indonesia terhadap nasib rakyat Palestina. Boikot adalah cara untuk menyatakan
ketidaksetujuan terhadap kebijakan kolonial Israel dan dipandang sebagai
tindakan praktis untuk melakukan tindakan damai. Para pendukungnya melihat
boikot tersebut sebagai bentuk tindakan nyata yang, meski bersifat simbolis,
berfungsi sebagai seruan moral untuk mendukung kemerdekaan dan hak-hak
Palestina.
Sementara
itu, implikasi ekonomi dan politik dari fatwa ini tidak dapat diabaikan.
Memboikot produk atau perusahaan Israel yang memiliki hubungan dengan Israel
dapat membatasi akses kita terhadap produk konsumen, karena beberapa produk
yang kita butuhkan memiliki hubungan langsung atau tidak langsung dengan Penjajah Israel. Kita, sebagai konsumen, mungkin harus mencari alternatif yang kurang memuaskan, lebih
mahal, atau sulit ditemukan, yang dapat menimbulkan ketidaknyamanan dan beban.
Di tingkat
makro, dampaknya bisa lebih kompleks. Indonesia, dengan ekonomi yang sedang
berkembang dan peka terhadap pengaruh internasional, mungkin menghadapi
konsekuensi diplomatik dari negara-negara yang bersekutu dengan Penjajah
Israel, terutama di bidang perdagangan dan investasi. Selain itu, bisnis lokal
yang secara tidak langsung terkait dengan Israel mungkin akan mengalami
kerugian, mengancam stabilitas ekonomi dan lapangan pekerjaan.
Efektivitas
boikot sebagai alat politik juga dipertanyakan. Tanpa partisipasi internasional
yang meluas, boikot mungkin tidak akan memberikan tekanan finansial yang cukup
untuk merubah pola pikir atau tindakan sebuah negara yang sudah memiliki
ekonomi kuat dan dukungan internasional.
Sebagai
lembaga keagamaan, MUI merujuk pada ajaran Islam untuk mengungkapkan
pendiriannya. Saat memboikot Penajajah Israel, MUI mengacu pada beberapa prinsip Islam:
1.
Solidaritas:
Islam
menekankan pentingnya umat Islam menunjukkan solidaritas terhadap kaum
tertindas. QS.Al-Nisa'/4:75 menegaskan bahwa membela kaum tertindas dapat
menjadi landasan spiritual dalam mendukung Palestina.
2. Keadilan:
Islam menekankan pentingnya keadilan dan perjuangan melawan penindasan. QS.Almaydah/5:8. Ayat adalah sebagai sebuah seruan kepada para pejuang keadilan.
3. Boikot
dalam Sejarah Islam:
Praktik
boikot bukanlah hal baru dalam sejarah Islam. Nabi Muhammad saw. dan para
pendukung awalnya menghadapi boikot sosial dan ekonomi di Mekah, sehingga
menjadi preseden boikot sebagai bentuk perlawanan pasif.
Dasar fatwa
MUI juga mengacu pada Hadis Nabi Muhammad saw., sebagaimananya: “Tolonglah saudaramu, baik dia yang teraniaya maupun pelaku penganiayaan”
(Bukhari dan Muslim), tanpa membedakan kebangsaan atau kekerabatannya.
Prinsipnya adalah berdiri di pihak yang benar. Hal ini dapat diartikan sebagai
dukungan untuk membantu kaum tertindas (dalam konteks ini, masyarakat
Palestina) dan menyalahkan para penindas (yaitu penjajah Israel).
Namun, ada
yang berpendapat bahwa tindakan ekonomi seperti boikot harus dipertimbangkan
dengan hati-hati, mengingat kompleksitas perdagangan global dan potensi dampak
sampingnya terhadap perekonomian dalam negeri, hubungan internasional, dan
masyarakat yang tidak terlibat dalam konflik.
Dengan kata
lain, fatwa boikot ini mengancam keselarasan etika, praktik ekonomi,
solidaritas internasional. Besar kecilnya pergeseran
keadilan akan bergantung pada seberapa luas dan efektif tindakan-tindakan
tersebut diterima tidak hanya oleh Indonesia, tetapi, juga oleh komunitas
internasional yang lebih luas.
Keuntungan
dan kerugian boikot
Keuntungan
boikot:
1.
Solidaritas terhadap Palestina:
Boikot
menunjukkan dukungan moral dan politik terhadap rakyat Palestina dan
meningkatkan kesadaran global terhadap permasalahan yang mereka hadapi.
2. Tekanan
ekonomi:
Boikot dapat
memberikan tekanan ekonomi pada penjajah Israel dengan harapan mendorong
perubahan politik atau negosiasi.
3. Sikap
moral:
Bagi
konsumen dan negara yang memilih melakukan boikot, hal tersebut dapat dilihat
sebagai tindakan yang sesuai dengan nilai keadilan dan hak asasi manusia.
Kerugian
Boikot:
1. Dampak
Ekonomi Minimal:
Penjajah
Israel mempunyai perekonomian maju dengan hubungan dagang yang beragam. Boikot
yang dilakukan suatu negara atau kelompok mungkin tidak menimbulkan dampak yang
signifikan.
2. Reaksi
Balasan:
Negara atau
perusahaan yang boikot bisa menghadapi reaksi balasan, termasuk boikot balik
atau kerugian bisnis.
3.
Polarisasi Selanjutnya:
Boikot dapat meningkatkan polarisasi dan ketegangan, daripada mendorong dialog atau solusi damai.
Ini kemungkinan yang menjadi faktor atau sebab, kenapa beberapa negara Arab enggan untuk menyinggung tentang perlawanan Palestina dan Boikot terhadap produk Penjajah Israel.
Andi Abdul Hamzah
Ketua Program Studi Dirasah Islamiyah (S2)
Program Magister Pascasarjana UIN Alauddin Makassar
Paccinongang,
18 Nopember 2023.