Kemunafikan Negara-Negara Arab dan Penderitaan Palestina

  • 09:50 WITA
  • AAH
  • Artikel

Pendahuluan

Konflik Israel-Palestina telah berlangsung selama puluhan tahun dan menjadi salah satu konflik paling rumit di dunia. Konflik ini juga melibatkan peran negara-negara Arab yang seringkali mengklaim solidaritas dengan Palestina tetapi pada kenyataannya melakukan tindakan yang seringkali tidak konsisten dengan retorika politik mereka. Artikel ini akan menganalisis kemunafikan Bahrain, Mesir, Jordan, Maroko, Uni Emirat Arab (UEA), dan Sudan dalam menyikapi konflik Israel-Palestina dan pentingnya mempertimbangkan peran mereka dalam mencapai perdamaian dan kemerdekaan Palestin.

Ketika membahas tentang penjajahan Zionisme internasional atas Palestina, sangat penting untuk memperhatikan peran dan tanggung jawab negara-negara Arab dalam konflik ini. Buah pikiran ini bertujuan untuk menganalisis kemunafikan negara-negara Arab dalam bersikap terkait dengan konflik Israel-Palestina dan perlunya mengkaji peran mereka dalam mencapai perdamaian dan kemerdekaan Palestina.


Citra Solidaritas:

Negara-negara Arab sering kali menampilkan diri mereka sebagai pendukung teguh perjuangan Palestina, padahal ada kecenderungan yang cukup kuat bahwa ini sering kali hanyalah retorika politik belaka. Terlepas dari retorika tersebut, negara-negara Arab sering kali gagal mengambil tindakan yang nyata untuk mendukung perjuangan Palestina dan mencegah penjajahan Zionisme.

Kebijakan Luar Biasa:

Sejarah telah mencatat bahwa beberapa negara Arab bahkan menjalin hubungan diplomatik dengan Israel, menandatangani perjanjian damai penuh, dan bergabung dengan persekutuan ekonomi dan keamanan dengan negara tersebut. Hal ini mengundang pertanyaan apakah tujuan Arab benar-benar berjuang untuk kebebasan Palestina atau hanya kepentingan politik dan ekonomi mereka sendiri.

Peran dalam Peperangan:

Walaupun negara-negara Arab sering kali mengumandangkan dukungan kepada Palestina, tetapi ketika terjadi peperangan menghadapi Israel dan ketika Palestina sedang dalam kondisi genting, negara-negara Arab sering kali tidak memberikan dukungan militer yang signifikan. Contohnya adalah Perang Enam Hari pada tahun 1967 dan Perang Yom Kippur pada tahun 1973, di mana keputusan-keputusan internal dan perselisihan internal mempengaruhi dominasi Israel atas lawan-lawannya.

Negosiasi Damai:

Meskipun sering kali mendukung negosiasi damai antara Israel dan Palestina, negara-negara Arab sering kali gagal untuk berjalan pada janjinya. Negosiasi-negosiasi damai sering kali terbengkalai, dan negara-negara Arab tidak dapat menyatukan pendekatan komprehensif untuk mencapai solusi yang adil dan berkelanjutan.

Kontrol terhadap Reaksi Radikal:

Negara-negara Arab memainkan peran penting dalam mengendalikan dan mempengaruhi kelompok-kelompok radikal yang beroperasi di kawasan tersebut. Namun dalam beberapa kasus, negara-negara Arab justru menggunakan organisasi-organisasi ini sebagai alat untuk mengejar kepentingan nasional mereka atau bahkan mendukung mereka secara diam-diam.

1. Bahrain:

Bahrain sering mengklaim dukungan terhadap Palestina, tetapi keputusan mereka untuk menjalankan hubungan diplomatik dengan Israel pada tahun 2020 menimbulkan kekhawatiran tentang keseriusan mereka dalam memperjuangkan hak-hak Palestina. Bahrain juga diketahui telah menandatangani perjanjian damai dengan Israel, yang dapat menimbulkan keraguan apakah Bahrain benar-benar berjuang untuk kemerdekaan Palestina atau hanya memprioritaskan kepentingan ekonomi dan politik mereka sendiri.

2. Mesir:

Mesir sering mengklaim sebagai pendukung kuat Palestina, terutama karena peran mereka dalam Perjanjian Camp David dengan Israel pada tahun 1978. Namun, seiring berjalannya waktu, Mesir diyakini telah mengecilkan peran mereka dalam konflik Israel-Palestina. Mesir juga telah memperkuat penjagaan perbatasannya dengan Jalur Gaza, yang telah mempengaruhi upaya bantuan kemanusiaan dan perdagangan ke Gaza. Ini menimbulkan pertanyaan tentang kemunafikan Mesir dalam memperjuangkan kemerdekaan Palestina.

3. Jordan:

Jordan terletak di dekat Tepi Barat yang diduduki dan sering mengaku sebagai pendukung perjuangan Palestina. Namun, Jordan juga telah menandatangani perjanjian damai dengan Israel pada tahun 1994. Selain itu, Jordan juga diketahui telah mendeportasi pengungsi Palestina ke Tepi Barat dan memiliki peran penting dalam mengendalikan akses ke Masjid Al-Aqsa di Yerusalem. Hal ini menimbulkan keraguan tentang komitmen Jordan dalam memperjuangkan hak-hak Palestina.

4. Maroko:

Maroko telah menjalin hubungan dengan Israel pada tahun 2020 dengan adanya perjanjian Abraham. Meskipun Maroko sering mengklaim dukungan kuat terhadap Palestina, keputusan untuk menjalin hubungan dengan Israel menimbulkan keraguan tentang tekad mereka untuk memperjuangkan kemerdekaan Palestina. Maroko juga diketahui telah memindahkan konsulat mereka di Sahrawi Barat, yang merahasiakan kemerdekaan Palestina dan menimbulkan kekhawatiran tentang kemunafikan mereka.

5. Uni Emirat Arab (UEA):

UEA juga mengejutkan dunia dengan melakukan hubungan diplomatis dengan Israel pada tahun 2020 melalui perjanjian Abraham. UEA sering mengklaim solidaritas dengan Palestina, tetapi keputusan untuk menjalin hubungan dengan Israel menunjukkan ada kepentingan politik dan ekonomi yang lebih besar. Selain itu, UEA telah menjadi tujuan investasi utama bagi Israel, yang dapat menimbulkan pertanyaan tentang komitmen UEA terhadap perdamaian di Timur Tengah.

6. Sudan

Pada tahun 2020, Sudan juga menandatangani perjanjian Abraham dengan Israel. Meskipun Sudan pernah menjadi pemain utama dalam konflik Israel-Palestina, keputusan mereka untuk menjalin hubungan diplomatis dengan Israel menimbulkan keraguan tentang tekad mereka untuk mendukung Palestina. Sudan juga diketahui telah menjadi tempat penahanan pengungsi Palestina dan mengekang kebebasan mereka untuk memperjuangkan hak-hak mereka.


Kesimpulan

Kemunafikan negara-negara Arab dalam menyikapi konflik Israel-Palestina, seperti Bahrain, Mesir, Jordan, Maroko, UEA, dan Sudan, telah merugikan upaya perdamaian dan kemerdekaan Palestina. Keputusan mereka untuk menjalin hubungan diplomatik dengan Israel dan tindakan-tindakan tidak konsisten dengan retorika politik mereka menimbulkan keraguan tentang komitmen mereka terhadap hak-hak Palestina. Penting bagi negara-negara Arab ini untuk mengevaluasi kembali sikap dan tindakan mereka guna mencapai perdamaian yang adil dan berkelanjutan di wilayah tersebut.


Dr. H. Andi Abdul Hamzah, Lc., M.Ag.

Kaprodi Dirasah Islamiyah, Program Magister (S2), Program Pascasarjana UIN Alauddin Makassar.



Paccinongang, 18 Oktober 2023.